Sebulan kemudian, kematian Negra sudah dilupakan. Blondi tumbuh sehat. Beberpa pelajaran yang diberian Kio sudah dimengerti. Mula-mula ia memang masih lupa, buang air sembarangan. Pak Slamet biasanya langsung turun tangan. Blondi ditangkap dan dipukul. Sakit. Karenanya ia jadi ingat. Begitu juga ketika iseng masuk rumah. Ia sebenarnya hanya ingin tahu apa saja yang ada di sana. Sial. Bi Inah memergoki. Plak. Gagang sapu mendarat di punggung. Aduh sakit sekali. Jauh lebih sakit dari pukulan tangan Pak Slamet. Dengan menyesal ia keluar cepat-cepat. Padahal belum banya yang dapat dilihat. Lain kali ia mencoba lagi. Plak-plak, gagang sapu Bi Inah tidak mengenal ampun. Tapi Blondi belum kapok juga. Blondi masih berusaha masuk ketika rumah nampak sepi. Salah. Bi Inah selalu siap. Kali ini Blondi tidak hanya dipukul. Dia dirantai di pohon.
“Biar kapok, Pak Slamet. Blondi jangan dilepaskan. Tadi masuk rumah lagi.” kata Bi Inah. Pak Slamet pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Blondi meronta-ronta. Sia-sia. Rantai itu terlalu kuat. Lama-lama, lehernya malah jadi sakit. Kio kemudian datang memberi nasehat.
“Blondi, kamu harus percaya kepadaku. Aku lebih berpengalaman. Apa yang kukatakan tidak boleh, ya memang tidak boleh. Kalau kamu melanggar, kamu kena hukuman. Sakitnya kamu yang tanggung sendiri.”
“Tapi aku khan hanya ingin tahu saja. Bukan merusak.” ujar Blondi lirih.
“Iya aku ngerti. Kamu masih muda. Ingin tahu segalanya. Tapi ingat. Jangan semua hasrat atau keinginan hatimu kauturuti. Berbahaya.”
“Mengapa?” Blondi garuk-garuk kepala. Kasihan, ia belum mengerti.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” kata Kio dengan sabar. “Kecerobohan biasanya awal dari bencana.”
Blondi mengangguk. Tapi mungkin bukan karena telah paham. Karena sebentar kemudian dengkurnya sudah terdengar. Dia tertidur.
Zaza mempunyai teman baru, kucing belang entah dari mana. Karena itu, dia semakin sering keluyuran. Kalau pulang, aduh berisiknya seperti pasar bubar. Kio jengkel sekali. Beberapa kali ia mengingatkan. Percuma.
Kucing belang itu rupanya sangat cocok dengan Zaza. Mereka hampir setiap malam pergi entah kemana. Menurut Zaza, mereka tidak keluyuran, tapi berpetualang. Dengan bangga, ia selalu berceritera kepada jalak. Katanya ia telah menemukan sebuah istana di kampung sebelah. Di sana ia bisa makan daging dan kue sampai puas. Ia juga pernah berkelahi dengan ular. Menang, tentu saja. Semua ular sudah pergi. Kampung itu sudah bebas dari ular. Dan kucing-kucing sekarang bebas berburu tikus. Tidak ada pesaing lagi. Zaza seolah-olah tampil sebagai pahlawan.
“Hebat ya.” kata Blondi mengejutkan Kio yang berbaring di sampingnya. “Coba kalau aku bisa bertualang seperti mereka....”
“Hm ... apanya yang hebat?” Kio agak kurang senang.
“Bisa menemukan tempat baru dan menjadi pahlawan.”
“Hati-hati Blondi. Apa betul Zaza sehebat itu?” tanya Kio.
“Nampaknya ...” Blondi ragu-ragu.
“Coba pikir. Kalau benar ada istana seperti itu, mengapa dia kembali ke sini. Kalau seluruh warga kucing menganggapnya pahlawan, mengapa hanya kucing belang itu yang jadi temannya?” jelas Kio sambil beranjak pergi.
Blondi jadi mengerti. Penjelasan Kio memang masuk akal. Sudah sejak awal Blondi kagum dan percaya kepada Kio. Dia pintar, berani dan penyayang. Kapan ya aku bisa sehebat dia? Katanya dalam hati.
“Hai Blondi, lagi ngalamun ya.”
Blondi kaget. Baru sekali ini si jalak yang sombong mau menyapa dirinya.
“Ah tidak.” jawabnya cepat.
“Ya aku tahu. Anjing secerdas kamu pasti sedang memikirkan rencana hebat.”
“Aku tidak cerdas!”
“Salah. Itu akibatnya. Kamu terlalu mendengarkan Kio. Dia sebenarnya curang. Kamu dilarang ini itu supaya kamu tidak tambah pandai. Aku sudah lama di sini. Aku paham betul watak dan kelakuannya. Dia ingin tetap menjadi yang paling hebat.”
“Aku tidak percaya.” Blondi memang tidak pernah berpikir seperti itu.
“Kamu pernah berlatih menangkap tikus?” tanya jalak memancing.
“Belum. Katanya nanti kalau sudah cukup besar akan dilatih di sawah.” jawab Blondi jujur.
“Nah itu khan. Kio memang sengaja membuatmu bodoh. Kamu khan tahu, anjing harus bisa berburu. Darah pemburu, mengalir di tubuhmu. Mengapa tidak sejak muda berlatih berburu?”
“Iya sih ... tapi.” Blondi jadi bingung.
“Terserah kamu, believe me or not. Aku cuma kasihan kepadamu. Kalau kamu mau, aku bisa memberimu jalan cara menjadi anjing hebat.”
Blondi tidak menceriterakan percakapan itu kepada Kio. Sudah waktunya ia berpikir dan memutuskan sendiri. Pada suatu siang, saat Kio sedang pergi, Blondi mendatangi jalak.
“Tidak salah, kamu memang cerdas dan pemberani. Kamu sudah sadar dan ingin cepat belajar khan?” Jalak sudah buka mulut sebelum Blondi berkata apa-apa.
“Kupikir sudah seharusnya begitu.” jawab Blondi.
“Betul. Jangan takut kepada Kio. Aku sudah bicara dengan Zaza. Kamu diam-diam akan dilatihnya. Dia juga merasa kasihan kepadamu.”
“Tapi kok Zaza..?” Blondi bingung. Ia tahu secara turun-temurun kucing menganggap anjing musuh. Lagi pula Zaza memang nakal.
“Ingat. Kucing juga ahli berburu. Ah ya, mungkin kamu takut dibohongi musuh. Aku tahu. Tapi kamu khan cerdas. Kamu pasti bisa mengatasi. Sst ini sebenarnya kesempatan baik untuk mencuri ilmu dari musuhmu. Bagaimana, mau nggak?”
Akhirnya Blondi memberanikan diri mencoba tantangan itu. Nanti malam ia akan ditunggu Zaza di belakang rumah.
“Ingat, jangan sampai Kio tahu.” bisik jalak untuk terakhir kalinya.
Blondi gelisah menunggu datangnya malam. Kio tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Malam pun tiba. Blondi berjingkat ke belakang rumah. Sepi dan mencekam.
“Hei, sebelah sini Blondi.” kata Zaza dari balik pagar. Sambil terus berjingkat, Blondi menuju ke arah suara itu.
“Jangan takut. Aku tidak memusuhimu. Malah merasa iba. Akan kulatih kamu ketrampilan dasar berburu.” kata Zaza lagi. Dua matanya nampak bersinar di dalam kegelapan.
“Makasih.” suara Blondi bergetar. Dia belum bisa mengatasi dirinya.
“Aku juga tidak mau kamu dibodohi terus oleh Kio. Kamu harus belajar.”
Blondi memang sudah bertekad akan belajar. Apapun yang terjadi akan dihadapinya. Aku bukan penakut, aku harus menjadi hebat. Katanya dalam hati. Di bawah sinar rembulan yang temaram, mereka terus melangkah. Blondi dibawa ke tempat yang jauh. Belum pernah ia pergi sejauh itu. Tapi siapa takut. Aku khan bukan anjing yang bodoh dan penakut.
“Nah di sini kita akan berlatih. Rumah ini tidak berpenghuni. Ini pelajaran pertama. Kita harus menemukan lokasi yang tepat untuk perburuan kita. Tikus paling senang bersarang di tempat seperti ini. Mereka pikir aman. Jauh dari manusia dan pemburu seperti kita. Padahal kamu tahu khan ...”
Blondi manggut-manggut. Dengan serius dia mengingat pelajaran ini. Tidak seperti dugaannya, ternyata Zaza baik dan tulus. Pelajaran yang diaberikan sangat berguna.
“Kita masuk pelajaran kedua. Menunggu dengan sabar. Itu yang dilakukan semua pemburu sebelum beraksi.”
Blondi diberitahu supaya diam tapi dalam posisi siap menyerang. Tidak boleh mengeluarkan suara apapun. Pokoknya jangan sampai sasaran tahu kehadiran kita, jelas Zaza. Dengan taat Blondi melakukan apa yang diminta. Perutnya sebenarnya agak gatal, tapi dia tidak berani menggaruk. Telinga dan ekorpun tidak boleh bergerak.
“Ssst. Bersiap. Sebentar lagi ada tikus lewat.” bisik Zaza. Tepat sekali. Beberapa saat kemudian seekor tikus besar melintas dengan santai. Dia tidak menyadari dua pasang mata sedang mengawasi.
“Pelajaran ketiga: kejar dan tangkap. Cepat Blondi.” perintah Zaza tiba-tiba.
Blondi langsung beraksi. Tapi si tikus juga cepat bereaksi. Larinya kencang dan lincah. Mula-mula ia hanya menyusuri daerah lantai. Karena merasa terdesak, tikus itu melompat ke atas. Merayap di tembok-tembok yang telah separo runtuh.
“Kejar terus. Jangan sampai lepas.” teriak Zaza memberi semangat.
Blondi tidak sempat berpikir. Ia terus mengejar tikus itu. Sial. Lolos. Sebuah ranting yang menjulur di ujung tembok, telah menyelamatkan tikus itu. Dengan mudahnya tikus itu melewati ranting dan sebentar kemudian menghilang entah kemana. Yang tertinggal hanya Blondi yang kebingungan. Tanpa sadar ternyata ia berada di ujung tembok. Ia gemetar ketika melihat ke bawab. Wah ternyata cukup tinggi. Bagaimana ini.
“Balik arah saja.” teriak Zaza dari bawah.
Gedebug. Blondi jatuh. Ketika memutar badan, ia kehilangan keseimbangan. Ngik ngik. Blondi terbaring kesakitan.
“Bagaimana. Sakit ya?”
Blondi tidak menjawab karena kesal. Jatuh seperti itu ya pasti sakit la. Untuk apa ditanya lagi. Blondi berdiri tetapi hampir jatuh lagi. Satu kakinya pincang.
“Jangan putus asa kawan. Di dunia ini tidak ada pekerjaan yang mudah. Nanti kita coba lagi.” kata Zaza sambil melangkah. “Ayo kita berburu lagi.”
Sambil terpincang-pincang menahan sakit, Blondi mengikuti Zaza. Mereka mencari lokasi baru.
“Maaf tadi aku lupa memberitahumu. Anjing berbeda dari kucing. Kamu sebenarnya tidak boleh mengejar sampai ke atas. Jadi jatuh, maaf.”
Lupa atau sengaja tidak dikatakan? Blondi mulai meragukan niat baik Zaza.
“Aku mau memberitahukan sebuah rahasia besar untukmu. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku.” kata Zaza tiba-tiba.
“Rahasia besar apa?” tanya Blondi malas.
“Sukses berburu keluarga kucing. Yaitu menerkam.”
“Menerkam?” Blondi kembali antusias.
“Ya. Kamu tahu mengapa anjing kalah berburu dari kucing?”
“Masa kalah?” Blondi tidak senang dengan kata-kata Zaza yang merendahkan. Aduh sombongnya.
“Tentu saja. Kamilah yang terhebat. Kamu tahu, siapa yang disebut raja rimba?”
“Harimau.”
“Pintar. Ketahuilah mereka itu kerabat dekat kami para kucing. Bentuk fisik dan perilaku kami sama. Hanya saja tubuh mereka besar. Karena memangsa buruan yang juga besar. Bukan tikus seperti kami.” jelas Zaza dengan nada bangga.
Blondi separo percaya bualan Zaza. Tidak penting. Bagi Blondi yang penting sekarang bisa mendapat ketrampilan berburu. Zaza pun nampaknya sudah tidak tertarik lagi melanjutkan bualannya.
“Ini kesempatan yang sejuta langka. Kamu satu-satunya anjing yang tahu rahasia ini. Kalau kamu menguasai ketrampilan menerkam, kamu akan menjadi anjing super. Tidak ada satu anjing pun yang akan lebih hebat darimu.”
Menjadi anjing hebat? Wah ini yang selama ini diimpikan Blondi. Aku harus belajar. Blondi menguatkan tekadnya lagi.
“Aku akan memberi contoh. Perhatikan baik-baik posisi badan dan kakiku. Nanti kamu coba sendiri. Kaleng itu kita jadikan sasaran.”
Zaza kemudian memperagakan dengan pelan-pelan teknik rahasia itu. Tubuh direndahkan. Kaki ditekuk tapi menapak kuat di tanah. Dan hup. Dengan gerakan tiba-tiba ia melompat ke depan. Prak. Zaza mendarat tepat di kaleng sasaran.
“Gampang khan. Sekarang kamu coba.”
Blondi sudah melihat contoh yang diperagakan Zaza dengan jelas. Nampaknya mudah. Tapi ternyata sangat sulit untuk dipraktekkan. Setelah berkali-kali berlatih, Blondi hanya bisa melompat sedikit saja.
“Ya pertama kali memang susah. Cobalah terus, pasti bisa.” kata Zaza memberi semangat.
Blondi mencoba terus. Lumayan. Ada perkembangan. Tapi sedikit. Dia belum berhasil menyentuh kaleng yang menjadi target sasaran. Masih jauh. Huh, capai. Akhirnya Blondi berhenti berlatih. Zaza mendekatinya.
“Menurutku latihanmu sudah bagus. Tenagamu juga oke. Mengapa ya kok nggak berhasil?” Zaza kelihatan penasaran.
“Nggak tahulah. Nanti aku coba lagi.” jawab Blondi sambil ngos-ngosan.
“Jangan-jangan teknik ini tidak cocok untukmu? Ya aku tahu. Ukuran dan struktur tubuh anjing berbeda dari kucing. Kamu bisa menerkam tapi harus dengan cara lain.”
“Cara lain?”
“Betul. Cara kucing seperti yang kuajarkan tadi, tidak cocok untukmu. Kamu harus ambil ancang-ancang dengan berlari dari belakang. Barulah nanti lompatanmu akan jauh.”
Nah itu baru cara yang sesuai, pikir Blondi. Rasa capainya hilang. Sebentar lagi aku bisa menerkam. Aku akan menjadi anjing pemburu yang hebat. Segera dia bersiap mempraktekkan cara baru itu. Blondi ambil ancang-ancang, lari sekuat tenaga dan jiuup melompat. Luar biasa. Lompatan Blondi jauh. Tapi tunggu ada suara apa itu. Sreet .... bruk. Aneh. Dimana Blondi?
Ternyata lompatan Blondi terlalu jauh, melewati kaleng sasaran. Dia mendarat tepat di tengah lobang sebuah sumur yang dalam.
Zaza sudah merencanakan kecelakaan itu dengan cermat. Dia memang sejak awal berniat jahat.
“Zaza tolong aku.” teriak Blondi sambil kesakitan.
“Aduh kasihan. Mau jadi jagoan malah masuk ke lobang gelap gulita. Sampai jumpa jagoan aku masih ada urusan.” Zaza pergi dengan langkah penuh kemenangan.
Blondi semalaman terdampar di dasar sumur itu. Ia menyesal telah mempercayai kucing itu. Di dalam kegelapan ia menanggung sakit sendiri. Suaranya sudah habis untuk minta tolong. Tapi tidak ada yang datang. Dimanakah Kio? Seandainya saja aku mempercayainya pasti tidak akan seperti ini.
Memang benar kecerobohan adalah awal dari bencana. Untunglah esok harinya ada penggembala kerbau yang menolongnya.
“Biar kapok, Pak Slamet. Blondi jangan dilepaskan. Tadi masuk rumah lagi.” kata Bi Inah. Pak Slamet pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Blondi meronta-ronta. Sia-sia. Rantai itu terlalu kuat. Lama-lama, lehernya malah jadi sakit. Kio kemudian datang memberi nasehat.
“Blondi, kamu harus percaya kepadaku. Aku lebih berpengalaman. Apa yang kukatakan tidak boleh, ya memang tidak boleh. Kalau kamu melanggar, kamu kena hukuman. Sakitnya kamu yang tanggung sendiri.”
“Tapi aku khan hanya ingin tahu saja. Bukan merusak.” ujar Blondi lirih.
“Iya aku ngerti. Kamu masih muda. Ingin tahu segalanya. Tapi ingat. Jangan semua hasrat atau keinginan hatimu kauturuti. Berbahaya.”
“Mengapa?” Blondi garuk-garuk kepala. Kasihan, ia belum mengerti.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” kata Kio dengan sabar. “Kecerobohan biasanya awal dari bencana.”
Blondi mengangguk. Tapi mungkin bukan karena telah paham. Karena sebentar kemudian dengkurnya sudah terdengar. Dia tertidur.
Zaza mempunyai teman baru, kucing belang entah dari mana. Karena itu, dia semakin sering keluyuran. Kalau pulang, aduh berisiknya seperti pasar bubar. Kio jengkel sekali. Beberapa kali ia mengingatkan. Percuma.
Kucing belang itu rupanya sangat cocok dengan Zaza. Mereka hampir setiap malam pergi entah kemana. Menurut Zaza, mereka tidak keluyuran, tapi berpetualang. Dengan bangga, ia selalu berceritera kepada jalak. Katanya ia telah menemukan sebuah istana di kampung sebelah. Di sana ia bisa makan daging dan kue sampai puas. Ia juga pernah berkelahi dengan ular. Menang, tentu saja. Semua ular sudah pergi. Kampung itu sudah bebas dari ular. Dan kucing-kucing sekarang bebas berburu tikus. Tidak ada pesaing lagi. Zaza seolah-olah tampil sebagai pahlawan.
“Hebat ya.” kata Blondi mengejutkan Kio yang berbaring di sampingnya. “Coba kalau aku bisa bertualang seperti mereka....”
“Hm ... apanya yang hebat?” Kio agak kurang senang.
“Bisa menemukan tempat baru dan menjadi pahlawan.”
“Hati-hati Blondi. Apa betul Zaza sehebat itu?” tanya Kio.
“Nampaknya ...” Blondi ragu-ragu.
“Coba pikir. Kalau benar ada istana seperti itu, mengapa dia kembali ke sini. Kalau seluruh warga kucing menganggapnya pahlawan, mengapa hanya kucing belang itu yang jadi temannya?” jelas Kio sambil beranjak pergi.
Blondi jadi mengerti. Penjelasan Kio memang masuk akal. Sudah sejak awal Blondi kagum dan percaya kepada Kio. Dia pintar, berani dan penyayang. Kapan ya aku bisa sehebat dia? Katanya dalam hati.
“Hai Blondi, lagi ngalamun ya.”
Blondi kaget. Baru sekali ini si jalak yang sombong mau menyapa dirinya.
“Ah tidak.” jawabnya cepat.
“Ya aku tahu. Anjing secerdas kamu pasti sedang memikirkan rencana hebat.”
“Aku tidak cerdas!”
“Salah. Itu akibatnya. Kamu terlalu mendengarkan Kio. Dia sebenarnya curang. Kamu dilarang ini itu supaya kamu tidak tambah pandai. Aku sudah lama di sini. Aku paham betul watak dan kelakuannya. Dia ingin tetap menjadi yang paling hebat.”
“Aku tidak percaya.” Blondi memang tidak pernah berpikir seperti itu.
“Kamu pernah berlatih menangkap tikus?” tanya jalak memancing.
“Belum. Katanya nanti kalau sudah cukup besar akan dilatih di sawah.” jawab Blondi jujur.
“Nah itu khan. Kio memang sengaja membuatmu bodoh. Kamu khan tahu, anjing harus bisa berburu. Darah pemburu, mengalir di tubuhmu. Mengapa tidak sejak muda berlatih berburu?”
“Iya sih ... tapi.” Blondi jadi bingung.
“Terserah kamu, believe me or not. Aku cuma kasihan kepadamu. Kalau kamu mau, aku bisa memberimu jalan cara menjadi anjing hebat.”
Blondi tidak menceriterakan percakapan itu kepada Kio. Sudah waktunya ia berpikir dan memutuskan sendiri. Pada suatu siang, saat Kio sedang pergi, Blondi mendatangi jalak.
“Tidak salah, kamu memang cerdas dan pemberani. Kamu sudah sadar dan ingin cepat belajar khan?” Jalak sudah buka mulut sebelum Blondi berkata apa-apa.
“Kupikir sudah seharusnya begitu.” jawab Blondi.
“Betul. Jangan takut kepada Kio. Aku sudah bicara dengan Zaza. Kamu diam-diam akan dilatihnya. Dia juga merasa kasihan kepadamu.”
“Tapi kok Zaza..?” Blondi bingung. Ia tahu secara turun-temurun kucing menganggap anjing musuh. Lagi pula Zaza memang nakal.
“Ingat. Kucing juga ahli berburu. Ah ya, mungkin kamu takut dibohongi musuh. Aku tahu. Tapi kamu khan cerdas. Kamu pasti bisa mengatasi. Sst ini sebenarnya kesempatan baik untuk mencuri ilmu dari musuhmu. Bagaimana, mau nggak?”
Akhirnya Blondi memberanikan diri mencoba tantangan itu. Nanti malam ia akan ditunggu Zaza di belakang rumah.
“Ingat, jangan sampai Kio tahu.” bisik jalak untuk terakhir kalinya.
Blondi gelisah menunggu datangnya malam. Kio tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Malam pun tiba. Blondi berjingkat ke belakang rumah. Sepi dan mencekam.
“Hei, sebelah sini Blondi.” kata Zaza dari balik pagar. Sambil terus berjingkat, Blondi menuju ke arah suara itu.
“Jangan takut. Aku tidak memusuhimu. Malah merasa iba. Akan kulatih kamu ketrampilan dasar berburu.” kata Zaza lagi. Dua matanya nampak bersinar di dalam kegelapan.
“Makasih.” suara Blondi bergetar. Dia belum bisa mengatasi dirinya.
“Aku juga tidak mau kamu dibodohi terus oleh Kio. Kamu harus belajar.”
Blondi memang sudah bertekad akan belajar. Apapun yang terjadi akan dihadapinya. Aku bukan penakut, aku harus menjadi hebat. Katanya dalam hati. Di bawah sinar rembulan yang temaram, mereka terus melangkah. Blondi dibawa ke tempat yang jauh. Belum pernah ia pergi sejauh itu. Tapi siapa takut. Aku khan bukan anjing yang bodoh dan penakut.
“Nah di sini kita akan berlatih. Rumah ini tidak berpenghuni. Ini pelajaran pertama. Kita harus menemukan lokasi yang tepat untuk perburuan kita. Tikus paling senang bersarang di tempat seperti ini. Mereka pikir aman. Jauh dari manusia dan pemburu seperti kita. Padahal kamu tahu khan ...”
Blondi manggut-manggut. Dengan serius dia mengingat pelajaran ini. Tidak seperti dugaannya, ternyata Zaza baik dan tulus. Pelajaran yang diaberikan sangat berguna.
“Kita masuk pelajaran kedua. Menunggu dengan sabar. Itu yang dilakukan semua pemburu sebelum beraksi.”
Blondi diberitahu supaya diam tapi dalam posisi siap menyerang. Tidak boleh mengeluarkan suara apapun. Pokoknya jangan sampai sasaran tahu kehadiran kita, jelas Zaza. Dengan taat Blondi melakukan apa yang diminta. Perutnya sebenarnya agak gatal, tapi dia tidak berani menggaruk. Telinga dan ekorpun tidak boleh bergerak.
“Ssst. Bersiap. Sebentar lagi ada tikus lewat.” bisik Zaza. Tepat sekali. Beberapa saat kemudian seekor tikus besar melintas dengan santai. Dia tidak menyadari dua pasang mata sedang mengawasi.
“Pelajaran ketiga: kejar dan tangkap. Cepat Blondi.” perintah Zaza tiba-tiba.
Blondi langsung beraksi. Tapi si tikus juga cepat bereaksi. Larinya kencang dan lincah. Mula-mula ia hanya menyusuri daerah lantai. Karena merasa terdesak, tikus itu melompat ke atas. Merayap di tembok-tembok yang telah separo runtuh.
“Kejar terus. Jangan sampai lepas.” teriak Zaza memberi semangat.
Blondi tidak sempat berpikir. Ia terus mengejar tikus itu. Sial. Lolos. Sebuah ranting yang menjulur di ujung tembok, telah menyelamatkan tikus itu. Dengan mudahnya tikus itu melewati ranting dan sebentar kemudian menghilang entah kemana. Yang tertinggal hanya Blondi yang kebingungan. Tanpa sadar ternyata ia berada di ujung tembok. Ia gemetar ketika melihat ke bawab. Wah ternyata cukup tinggi. Bagaimana ini.
“Balik arah saja.” teriak Zaza dari bawah.
Gedebug. Blondi jatuh. Ketika memutar badan, ia kehilangan keseimbangan. Ngik ngik. Blondi terbaring kesakitan.
“Bagaimana. Sakit ya?”
Blondi tidak menjawab karena kesal. Jatuh seperti itu ya pasti sakit la. Untuk apa ditanya lagi. Blondi berdiri tetapi hampir jatuh lagi. Satu kakinya pincang.
“Jangan putus asa kawan. Di dunia ini tidak ada pekerjaan yang mudah. Nanti kita coba lagi.” kata Zaza sambil melangkah. “Ayo kita berburu lagi.”
Sambil terpincang-pincang menahan sakit, Blondi mengikuti Zaza. Mereka mencari lokasi baru.
“Maaf tadi aku lupa memberitahumu. Anjing berbeda dari kucing. Kamu sebenarnya tidak boleh mengejar sampai ke atas. Jadi jatuh, maaf.”
Lupa atau sengaja tidak dikatakan? Blondi mulai meragukan niat baik Zaza.
“Aku mau memberitahukan sebuah rahasia besar untukmu. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku.” kata Zaza tiba-tiba.
“Rahasia besar apa?” tanya Blondi malas.
“Sukses berburu keluarga kucing. Yaitu menerkam.”
“Menerkam?” Blondi kembali antusias.
“Ya. Kamu tahu mengapa anjing kalah berburu dari kucing?”
“Masa kalah?” Blondi tidak senang dengan kata-kata Zaza yang merendahkan. Aduh sombongnya.
“Tentu saja. Kamilah yang terhebat. Kamu tahu, siapa yang disebut raja rimba?”
“Harimau.”
“Pintar. Ketahuilah mereka itu kerabat dekat kami para kucing. Bentuk fisik dan perilaku kami sama. Hanya saja tubuh mereka besar. Karena memangsa buruan yang juga besar. Bukan tikus seperti kami.” jelas Zaza dengan nada bangga.
Blondi separo percaya bualan Zaza. Tidak penting. Bagi Blondi yang penting sekarang bisa mendapat ketrampilan berburu. Zaza pun nampaknya sudah tidak tertarik lagi melanjutkan bualannya.
“Ini kesempatan yang sejuta langka. Kamu satu-satunya anjing yang tahu rahasia ini. Kalau kamu menguasai ketrampilan menerkam, kamu akan menjadi anjing super. Tidak ada satu anjing pun yang akan lebih hebat darimu.”
Menjadi anjing hebat? Wah ini yang selama ini diimpikan Blondi. Aku harus belajar. Blondi menguatkan tekadnya lagi.
“Aku akan memberi contoh. Perhatikan baik-baik posisi badan dan kakiku. Nanti kamu coba sendiri. Kaleng itu kita jadikan sasaran.”
Zaza kemudian memperagakan dengan pelan-pelan teknik rahasia itu. Tubuh direndahkan. Kaki ditekuk tapi menapak kuat di tanah. Dan hup. Dengan gerakan tiba-tiba ia melompat ke depan. Prak. Zaza mendarat tepat di kaleng sasaran.
“Gampang khan. Sekarang kamu coba.”
Blondi sudah melihat contoh yang diperagakan Zaza dengan jelas. Nampaknya mudah. Tapi ternyata sangat sulit untuk dipraktekkan. Setelah berkali-kali berlatih, Blondi hanya bisa melompat sedikit saja.
“Ya pertama kali memang susah. Cobalah terus, pasti bisa.” kata Zaza memberi semangat.
Blondi mencoba terus. Lumayan. Ada perkembangan. Tapi sedikit. Dia belum berhasil menyentuh kaleng yang menjadi target sasaran. Masih jauh. Huh, capai. Akhirnya Blondi berhenti berlatih. Zaza mendekatinya.
“Menurutku latihanmu sudah bagus. Tenagamu juga oke. Mengapa ya kok nggak berhasil?” Zaza kelihatan penasaran.
“Nggak tahulah. Nanti aku coba lagi.” jawab Blondi sambil ngos-ngosan.
“Jangan-jangan teknik ini tidak cocok untukmu? Ya aku tahu. Ukuran dan struktur tubuh anjing berbeda dari kucing. Kamu bisa menerkam tapi harus dengan cara lain.”
“Cara lain?”
“Betul. Cara kucing seperti yang kuajarkan tadi, tidak cocok untukmu. Kamu harus ambil ancang-ancang dengan berlari dari belakang. Barulah nanti lompatanmu akan jauh.”
Nah itu baru cara yang sesuai, pikir Blondi. Rasa capainya hilang. Sebentar lagi aku bisa menerkam. Aku akan menjadi anjing pemburu yang hebat. Segera dia bersiap mempraktekkan cara baru itu. Blondi ambil ancang-ancang, lari sekuat tenaga dan jiuup melompat. Luar biasa. Lompatan Blondi jauh. Tapi tunggu ada suara apa itu. Sreet .... bruk. Aneh. Dimana Blondi?
Ternyata lompatan Blondi terlalu jauh, melewati kaleng sasaran. Dia mendarat tepat di tengah lobang sebuah sumur yang dalam.
Zaza sudah merencanakan kecelakaan itu dengan cermat. Dia memang sejak awal berniat jahat.
“Zaza tolong aku.” teriak Blondi sambil kesakitan.
“Aduh kasihan. Mau jadi jagoan malah masuk ke lobang gelap gulita. Sampai jumpa jagoan aku masih ada urusan.” Zaza pergi dengan langkah penuh kemenangan.
Blondi semalaman terdampar di dasar sumur itu. Ia menyesal telah mempercayai kucing itu. Di dalam kegelapan ia menanggung sakit sendiri. Suaranya sudah habis untuk minta tolong. Tapi tidak ada yang datang. Dimanakah Kio? Seandainya saja aku mempercayainya pasti tidak akan seperti ini.
Memang benar kecerobohan adalah awal dari bencana. Untunglah esok harinya ada penggembala kerbau yang menolongnya.
For PDF pattern only. The file will send directly to your email. Including the instruction sheet detailing color of fabric, sizes, a complete color listing (number of skeins to purchase) |
|
masdriyo@gmail.com Whatsapp chat | Messenger Send pictures to convert |